"Aku Ada Pada Setiap Jengkal Katakata", waktu yang berjalan,~tidak ada sekian detikpun diciptakan untuk sebuah kesia-siaan, sebab Tuhan telah menjadikan segala sesuatu sebagai sebuah jawaban, ke arah mana kita akan menempuh, semua adalah pilihan yang akan kita tentukan sendiri-sendiri. kebetulan; barangkali ia adalah sebuah petunjuk yang disamarkan... By, Yori Kayama (YK)

Jumat, 26 November 2010

Perubahan Iklim Dari Rezim ke rezim 1962-1992 ( Pekerja Tetap Menderita)

Kritik Sastra
Perubahan  Iklim dari rezim ke rezim 1962-1992
Para Pekerja Tetap Menderita
Oleh : YK


Lagu Pekerja Malam
: Goenawan Muhamad

Lagu pekerja malam
di sayup-sayup embun
Antara dinamo menderam
Pantun demi pantun
Lagu pekerja malam
Lagu padat damai
Lagu tak terucapkan
Jika dua pun usai
Tangan yang hitam, tangan lelaki
Lengan melogam berpercik api
dan batu pun retak di lagu serak:
Majulah jalan, majulah setapak
Nada akan terulang-ulang
dan lampu putih pasi:
Panjang, alangkah panjang
Dini hari, o, dini hari!
Lagu pekerja malam
Lagu tiang-tiang besi
Lagu tak teralahkan
Memintas sepi
[1962]


E d a n
: Wiji Thukul
sudah dengan cerita mursilah?
edan!
dia dituduh maling
karena mengumpulkan serpihan kain
dia sambung-sambung jadi mukena
untuk sembahyang
padahal mukena tak dibawa pulang
padahal mukena dia taroh
di tempat kerja
edan!
sudah diperas
dituduh maling pula

sudah dengan cerita santi?
edan!
karena istirahat gaji dipotong
edan!
karena main kartu
lima kawannya langsung dipecat majikan
padahal tak pakai wang
padahal pas waktu luang
edan!
kita mah bukan sekrup

1992

Catatan :

Puisi Lagu Pekerja Malam

Titimangsa pembuatannya sedikit banyak bisa menjelaskan genesis –jika bisa disebut demikian– sajak “Lagu Pekerja Malam” ini. Ditulis pada 1962, sajak ini lahir di tengah pasangnya kampanye revolusi ala Demokrasi Terpimpin-nya Soekarno. Hasrat besar Soekarno pada revolusi, yang ia bayangkan sebagai “simfoni yang menjebol dan membangun”, terejawantah dalam praktik mobilisasi massa, mula-mula kampanye pembebasan Irian Barat dan berlanjut kampanye “Ganjang Malaysia”.
Dalam esai berjudul “Afair Manikebu, 1963-1964″, Goenawan Mohamad menulis:

Di tengah gemuruh seperti itulah [Orwell akan menyebutnya sebagai "a continuous frenzy"] ada kesediaan yang tulus, meskipun barangkali naif, dari banyak penulis –dengan pelbagai kecenderungan aliran politik mereka– untuk membuat karya-karya yang berpaut dengan “tanah air” atau “massa rakyat”. Sajak-sajak liris, yang “subyektif”, dengan sendirinya seperti kehilangan peran, atau susut ke latar belakang.

Salah satu sajak yang saya tulis dari masa itu, misalnya, adalah “Lagu Pekerja Malam”. Cerita pendek terkemuka waktu itu ditulis oleh Bur Rusuanto, dengan latar belakang para pekerja di perusahaan minyak, yang kemudian dikumpulkan dalam Mereka Akan Bangkit. Hartojo Andangjaja, seorang penyair dan penerjemah puisi yang menurut saya lebih kuat ketimbang Trisno Sumardjo, menerbitkan ode yang cukup panjang dengan judul “Rakyat”

Dari Segi Bunyi

Dalam puisi bunyi bersifat estetik, merupakan unsure puisi untuk mendapatkan keindahan dan tenaga ekspresif. Bunyi ini erat hubungannya dengan anasir-anasir musik, misalnya: lagu, melodi, irama, dsb. Bunyi disamping hiasan dalam puisi, juga mempunyai tugas yang lebih penting lagi, yaitu untuk memperdalam ucapan, menimbulkan rasa, dan menimbulkan bayangan angan yang jelas, menimbulkan suasana yang khusus, dsb (Pradopo, 1987:22).

Menurut teori simbolisme (Slametmuljana,1956:57) tiap kata itu menimbulkan asosiasi dan menciptakan tanggapan di luar arti yang sebenarnya. Hal ini dapat diusahakan dengan gaya bahasa. Jalannya ialah mengarahkan puisi sedekat-dekatnya kepada rasa saja. Apapun yang dapat ditangkap panca indera ini hanyalah lambang atau bayangan kenyataan yang sebenarnya. Kenyataan sebenarnya ini tidak dapat ditangkap panca indera. Barang-barang ini hanya dapat memberi saran kepada kita tentang kenyataan yang sebenarnya.

Pada puisi Goenawan, LAGU PEKERJA MALAM, menggunakan pola bunyi sebagaimana terdapat di pantun. Hal itu dapat ditemukan antara lain pada panduan bunyi /m/ pada larik lagu pekerja malam, dengan /m/ antara dynamo menderam, dan paduan bunyi /n/ pada larik di sayup-sayup embun dengan /n/ pada larik pantun demi pantun. Goenawan dalam puisi tersebut memang seperti sedang berpantun dan pantun itu mempengaruhi cirri puisi “Lagu Pekerja Malam”. Akan tetapi, pengaruh tersebut tidak mengubah karakteristik teks itu sebagai puisi. Goenawan Muhamad dalam puisinya. tersebut mengisahkan para pekerja malam dengan bahasa yang tidak banyak kiasannya

Memang pada puisi lagu pekerja malam ini terlihat sekali pengarang menciptakan kata-kata yang mudah dicerna dan sederhana seperti “tangan hitam,tangan lelaki/lengan melogam berpercik api/dan batu pun letak di lagu serak:majulah jalan,majulah setapak”dari kata-kata tersebut Goenawan Muhamad mengajak pembaca bahwa betapa menderitanya menjadi seorang pekerja malam,dan yang dikatakan pekerja disitu adakah sosok seseorang yang berkelamin laki-laki sebab di puisi itu ia jelas berterus terang hanya permainan letak kata yang dimainkan oleh pengarang.

Namun kalau dihubungkan antara puisi dan pernyataan Goenawan sendiri bahwa ia secara tak langsung menggunakan latar seorang pekerja minyak padahal dari puisi tersebut tak adanya penggabaran secara jelas tentang hal tersebut,menurut saya pada puisi Lagu Pekerja Malam itu sendiri sebenarnya menggambarkan tentang pekerja tambang yang saya tangkap dari kutipannya “lengan melogam berpercik api” dan pada puisi itu pun Goenawan memberikan sebuah semangat baru kepada para pekerja seupaya tetap melaju dan tidak patah arang.

Adapun menurut saya kelemahan-kelemahan dari puisi Lagu pekerja Malam ini adalah belum klopnya beberapa kata untuk penyampaian yang pas dalam penyajian puisinya seperti “ antara dinamo menderam/pantun demi pantun”disini terjadi suatu penegasan yang pada hakikatnya kurang tegas,mengapa demikian, Goenawan menjelaskan bahwa pekerja malam itu tidaklah enak,tersiksa layaknya dinamo yang menderam atau yang saya tangkap sebagai gumam atau mengupat seperti deramnya dinamo,nah seharusnya penulis harus melanjutkan semua itu, menegaskan. jadi persoalan masuknya kata” pantun demi pantu” tidaklah suai sebab pantun demi pantun merupakan rasa yang harmoni sedang para pekerja pada waktu itu tidaklah harmoni namun sebaliknya,menderita.

Mungkin itu kekurangannya menurut pemahaman yang saya ketahui  

Nah,sekarang kita bandingkan dengan puisi Edan karya Wiji Thukul

Thukul bergerilya. Di tahun-tahun yang panas sebelum Soeharto runtuh, Thukul menghindar dari kejaran rezim ke Kalimantan. Dalam hidup yang ala kadarnya, perlawanan ia jalankan dengan cara klandestin, merayap, dan membangun kontak rahasia.

Dari satu kota ke kota lain, dari Jakarta, Tangerang, Solo, Surabaya, hingga Ngawi, Thukul hadir dan terlibat. Dalam ziarah itu, ia bertemu banyak buruh, petani, kaum miskin kota, dan kaum gembel lainnya. Segendang mereka menuntut hak-hak yang telah dirampas. Sepenarian mereka melawan rezim yang menihilkan kemanusiaan.

Tampak dari puisi ini Thukul dan Goenawan Muhamad memiliki kesamaan dalam hal isi teks namun dari sudut pandang yang berbeda,dimana Goenawan menceritakan dari sisi sosok lelaki yang bekerja disebuah tambang yang merasa lelah dan tersiksa.sedangkan Thukul menjelaskan tentang nasib sekumpulan wanita yang menjadi pekerja namun selalu disiksa seorang majikan terlihat dari kutipan puisi tersebut “sudah diperas dituduh maling pula” saya disini memiliki pemahaman bahwa kata diperas mempunyai arti yang sangat luas,bisa dikatakan pekerja perempuan itu gajinya tidak bayar,atau terjadi pelecehan-pelecehan seksual.

Dari kedua puisi tersebut tampaknya puisi Wiji Thukul tetap hidup dari zaman ke zaman sesuai isi di dalam teksnya sendiri,megapa saya mengatakan demikian,sebab Thukul sangat pintar memilih tema dan pemaknaan,tanpa kita sadari apa yang disampaikan Thukul sampai saat ini masih sering dijumpai,seperti cerita santi dan mursilah yang dikatakan Thukul.bahkan pada saat ini isu tersebut sedang hangat.
Contoh kalau kita telaah lebih luas lagi puisi thukul bisa dikatakan pula sebagai penderitaan seorang TKW yang bekerja kemudian disiksa,ini terbukti isu yang ditawarkan Thukul dalam puisinya tetap hidup dari zaman ke zaman.

Nah,tidak pula luput dari kelemahan dalam puisi Edan ini saya juga mendapati kelmahannya yaitu dalam kata,ada beberapa dalam puisi Edan ini kurang bijak menurut saya,entah kenapa saya sangat terganggu pada cerita santi yang main kartu tidak pakai wang,kembali kita ke persoalan estetika dalam berbahasa, nama santi adalah ditujukan sebagai pekerja wanita,meskipun penulis menyajikannya hanya untuk meluapkan emosi yang tidak berterima akan gaji-gaji yang dipotong atau pekerja yang di PHK, namun penulis harus pintar memposisikan dalam mempergunakan kata. Kita sendiri tau letak posisi perempuan dan bagaimana kodratnya,perempuan seharusnya tidak main kartu meski tak pakai wang,dari segi moral itu akan menimbulkan dampak negative ,melalaikan pekerjaan,toh ketika asyik bermain maka pekerjaan akan terlupakan. Jadi mungkin dari sanalah kebijakan kata harus diperhatikan.

Itulah penilaian saya terhadap dua karya yang menurut saya sangat berpengaruh sampai saat ini meskipun waktu dan zaman terus berganti tampaknya penderitaan para pekerja belum akan berhenti,sampai sekarang.

Sumber : dari berbagai sumber dan pemahaman pribadi tentang sastra

0 komentar:

Posting Komentar

Jika Sudah Berkunjung, Kasih Koment Nya...

Twitter Delicious Facebook Digg Stumbleupon Favorites More